Oleh : Yuslisul Pransiskasari
“Jangan pernah berani bermimpi jika kau
yakin akan dapat menggapai mimpimu. Yakinlah kau bisa melakukan hal terbaik
tanpa harus bermimpi. Cukup dengan tindakan,
tekad dan niat. Karena kecerobohan manusia saat ini adalah mereka berani
bermimpi namun akhirnya hanya terbuai oleh mimpi dan angan - angan. Karena
urusan sebuah mimpi itu tercapai atau tidak, manusia tidak bisa menentukan.
Inilah konsep sederhana yang kumiliki. Berusahalah. JANGAN BERMIMPI!”
Hamparan tanah luas menghijau dalam petakan sawah milik petani.
Berbondong – bondong mereka tembus sang mentari demi bulir-bulir nasi yang
berarti. Peluh menetes dari setiap jiwa yang senantiasa mensucikan diri ketika
matahari naik sepenggalah. Mereka adalah pahlawan pangan yang tak bergelar.
Cukup beralaskan bumi dan bertopi
langit, kenikmatan surgawi terasa di dunia ini.
Tumi, adalah anak dari sepasang suami istri
yang kedua-duanya adalah petani. Setiap menjelang siang, diantarnya serantang
nasi beserta lauk pauk. Tumi yang memasaknya sendiri. Padahal dia baru berusia
13 tahun. Emaknya selalu dibuat terkejut ketika merasakan masakan Tumi. Tak
pernah sekalipun Tumi belajar memasak pada emaknya. Emaknya suka heran melihat
tingkah Tumi yang semakin suka memasak.
“Tumi, emak dan bapak ndak
usah dimasakin yang aneh-aneh. Cukup bawakan air minum, nasi putih, dan garam
saja. Uang yang kamu punya disimpan saja. Untuk keperluan sekolah nanti.”
Tumi hanya diam. Seolah-olah
membiarkan perkataan emaknya luntur ditelan waktu. Bukan karena dia tidak mau
mendengarkan, tapi Tumi punya alasan lain untuk hal ini. Tumi tak pernah merasa direpotkan. Apalagi
untuk orang tuanya, Tumi tak pernah memperhitungkan sepeser pun biaya untuk keperluan
belanja. Sejak usia enam tahun dia membantu bibinya memasak. Bibinya pandai
memasak dan sudah lama memiliki usaha chatering. Tumi sering main ke rumah
bibinya untuk belajar memasak. Teknik Tumi belajar terbilang unik. Tanpa dia
ikut campur tangan langsung, beberapa saat setelah melihat bibinya memasak Tumi
selalu berhasil untuk mempraktekkan resep yang sama. Tumi memang gadis yang
luar biasa.
“Tumi, kamu nanti ikut bibi ya!
Bibi ada pesanan dengan menu baru.”
Tumi mengangguk. Dia bukan
gadis yang banyak bicara. Namun sebenarnya tutur katanya lembut. Selain memasak
Tumi juga rajin mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meski dia terbilang masih
seumuran anak-anak yang haus akan permainan dan hidup dalam dunia petualangan,
namun tidak bagi Tumi. Dalam kondisi keluarga yang kurang, Tumi tak pantang
menyerah. Dia tidak segera putus asa. Keadaan itu menuntut Tumi untuk bersikap
lebih bijaksana. Bukan keinginan emak dan bapaknya tapi keinginan itu lahir
dari dalam hati Tumi sendiri.
“Tumi, besok bawa lagi ya.
Bawa yang banyak. Nanti aku bantuin buat jual ke guru-guru kita, atau dititipin
di kantin sekolah,”celetuk Ratna
bersemangat untuk membantu Tumi menjual dagangannya.
“Sok baik banget kamu, Rat.
Padahal itu masakan bukan buatan si Tumi. Pake di puji-puji segala. Besar
kepala tuh ntar,”kata Winda ketus.
“Rugi kalau kamu cuma muji
masakan emaknya. Emaknya aja enggak ada disini. Lagian emaknya si Tumi kan cuma
Petani mana bisa dia masak kayak gini,”kata Desi menambahkan olokan yang
semakin ketus.
Olokan semacam itu sudah biasa
Tumi dengarkan. Tumi hanya menerima tanpa ada aksi balas dendam. Sebagai anak
yang dilahirkan dari garis keturunan petani, mimpi Tumi untuk memiliki sebuah
restoran akan dipandang berlebihan bagi banyak orang. Tapi Tumi selalu yakin
jika 10 tahun mendatang dia akan memiliki sebuah restoran kecil yang menampung
resep buatannya sendiri.
*) Nama pena dari Yuslisul Pransiskasari, nama
ini digunakan hanya pada tulisan tertentu
0 komentar:
Posting Komentar