Diberdayakan oleh Blogger.

Jumat, 01 Maret 2013

Angan di Ambang Batas

Posted by Unknown On 15.02 No comments


“Jangan pernah berani bermimpi jika kau yakin akan dapat menggapai mimpimu. Yakinlah kau bisa melakukan hal terbaik tanpa harus bermimpi.  Cukup dengan tindakan, tekad dan niat. Karena kecerobohan manusia saat ini adalah mereka berani bermimpi namun akhirnya hanya terbuai oleh mimpi dan angan - angan. Karena urusan sebuah mimpi itu tercapai atau tidak, manusia tidak bisa menentukan. Inilah konsep sederhana yang kumiliki. Berusahalah. JANGAN BERMIMPI!”


Hamparan tanah luas menghijau dalam petakan sawah milik petani. Berbondong – bondong mereka tembus sang mentari demi bulir-bulir nasi yang berarti. Peluh menetes dari setiap jiwa yang senantiasa mensucikan diri ketika matahari naik sepenggalah. Mereka adalah pahlawan pangan yang tak bergelar. Cukup beralaskan  bumi dan bertopi langit, kenikmatan surgawi terasa di dunia ini.
 Tumi, adalah anak dari sepasang suami istri yang kedua-duanya adalah petani. Setiap menjelang siang, diantarnya serantang nasi beserta lauk pauk. Tumi yang memasaknya sendiri. Padahal dia baru berusia 13 tahun. Emaknya selalu dibuat terkejut ketika merasakan masakan Tumi. Tak pernah sekalipun Tumi belajar memasak pada emaknya. Emaknya suka heran melihat tingkah Tumi yang semakin suka memasak.
“Tumi, emak dan bapak ndak usah dimasakin yang aneh-aneh. Cukup bawakan air minum, nasi putih, dan garam saja. Uang yang kamu punya disimpan saja. Untuk keperluan sekolah nanti.”
Tumi hanya diam. Seolah-olah membiarkan perkataan emaknya luntur ditelan waktu. Bukan karena dia tidak mau mendengarkan, tapi Tumi punya alasan lain untuk hal ini.  Tumi tak pernah merasa direpotkan. Apalagi untuk orang tuanya, Tumi tak pernah memperhitungkan sepeser pun biaya untuk keperluan belanja. Sejak usia enam tahun dia membantu bibinya memasak. Bibinya pandai memasak dan sudah lama memiliki usaha chatering. Tumi sering main ke rumah bibinya untuk belajar memasak. Teknik Tumi belajar terbilang unik. Tanpa dia ikut campur tangan langsung, beberapa saat setelah melihat bibinya memasak Tumi selalu berhasil untuk mempraktekkan resep yang sama. Tumi memang gadis yang luar biasa.
“Tumi, kamu nanti ikut bibi ya! Bibi ada pesanan dengan menu baru.”
Tumi mengangguk. Dia bukan gadis yang banyak bicara. Namun sebenarnya tutur katanya lembut. Selain memasak Tumi juga rajin mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Meski dia terbilang masih seumuran anak-anak yang haus akan permainan dan hidup dalam dunia petualangan, namun tidak bagi Tumi. Dalam kondisi keluarga yang kurang, Tumi tak pantang menyerah. Dia tidak segera putus asa. Keadaan itu menuntut Tumi untuk bersikap lebih bijaksana. Bukan keinginan emak dan bapaknya tapi keinginan itu lahir dari dalam hati Tumi sendiri.
“Tumi, besok bawa lagi ya. Bawa yang banyak. Nanti aku bantuin buat jual ke guru-guru kita, atau dititipin di kantin sekolah,”celetuk  Ratna bersemangat untuk membantu Tumi menjual dagangannya.
“Sok baik banget kamu, Rat. Padahal itu masakan bukan buatan si Tumi. Pake di puji-puji segala. Besar kepala tuh ntar,”kata Winda ketus.
“Rugi kalau kamu cuma muji masakan emaknya. Emaknya aja enggak ada disini. Lagian emaknya si Tumi kan cuma Petani mana bisa dia masak kayak gini,”kata Desi menambahkan olokan yang semakin ketus.
Olokan semacam itu sudah biasa Tumi dengarkan. Tumi hanya menerima tanpa ada aksi balas dendam. Sebagai anak yang dilahirkan dari garis keturunan petani, mimpi Tumi untuk memiliki sebuah restoran akan dipandang berlebihan bagi banyak orang. Tapi Tumi selalu yakin jika 10 tahun mendatang dia akan memiliki sebuah restoran kecil yang menampung resep buatannya sendiri.
*) Nama pena dari Yuslisul Pransiskasari, nama ini digunakan hanya pada tulisan tertentu



0 komentar:

Posting Komentar

Site search